Lintaspena.com|Jakarta – Di balik gemerlap malam Grand Final Puteri Indonesia 2025 , suara dari panggung utama bergema bukan hanya untuk menobatkan ratu kecantikan berikutnya, tapi juga untuk menyuarakan kepedulian yang lebih dalam: hak dan inklusivitas untuk Anak-anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Di sinilah Sarah Aurelia Saragih, Puteri Indonesia Riau 2025 , menjadikan panggung nasional sebagai ruang advokasi yang bermakna — mengangkat isu yang jarang mendapat sorotan seterang lampu catwalk. Sabtu, 3/5/25
Dengan latar belakang sebagai psikolog klinis anak dan remaja, Sarah tak hanya hadir sebagai kontestan biasa. Ia membawa narasi yang lahir dari pengalaman sehari-hari mendampingi anak-anak yang sering kali terpinggirkan oleh sistem. Dalam pidatonya yang bertajuk #BerdayaSeARAH, Sarah mengungkapkan bahwa dari 1,6 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia, hanya sekitar 18% yang mengakses pendidikan formal. Angka itu mencerminkan jurang ketimpangan yang besar, dan menjadi alasan utama ia memilih isu ini sebagai panggilan perjuangannya.
“Saya tidak bisa melupakan tatapan seorang ibu yang pernah bertanya pada saya dengan suara bergetar, ‘Mbak Sarah, apakah ada sekolah yang mau menerima anak saya?’ Pertanyaan itu terasa seperti tamparan yang menyadarkan saya bahwa akses terhadap pendidikan — sesuatu yang kita anggap wajar — masih menjadi mimpi yang jauh bagi banyak keluarga,” tutur Sarah dengan mata berkaca-kaca.
Ia melanjutkan bahwa advokasi ini bukan berdasarkan teori atau tren, melainkan kenyataan yang ia hadapi sehari-hari di lapangan. Dari sesi-sesi konseling, dari ruang kelas, dari komunitas, dan dari pelukan para orang tua yang berjuang sendirian menghadapi stigma sosial dan sistem yang tidak inklusif.
Sarah menekankan bahwa inklusivitas bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi tanggung jawab kolektif. “Inklusivitas bukan hanya soal menerima, tapi juga memahami dan mendukung. Kita perlu intervensi psikologis sejak dini, pelatihan khusus bagi tenaga pendidik, dan yang terpenting: empati dari masyarakat luas,” tegasnya.
Yang membuat pidato Sarah begitu membekas bukan hanya substansinya, tetapi juga cara ia menyampaikannya. Di akhir pidatonya, ia menutup dengan kalimat dalam bahasa isyarat, sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan kepada komunitas disabilitas yang selama ini sering terpinggirkan dalam ruang-ruang publik.
“Bahasa isyarat saya pelajari secara khusus untuk malam ini, karena saya ingin mereka tahu: saya mendengar mereka, saya melihat mereka, dan saya berdiri untuk mereka,” ujar Sarah.
Namun bagi Sarah, panggung Puteri Indonesia hanyalah titik awal. Ia berkomitmen untuk melanjutkan perjuangannya di luar kompetisi. Salah satu program yang akan dilanjutkan adalah skrining psikologis gratis di daerah-daerah yang belum memiliki akses terhadap layanan kesehatan mental anak. Ia juga berencana membangun ekosistem kolaboratif antara sekolah, psikolog, dan komunitas lokal agar pendekatan terhadap anak-anak berkebutuhan khusus menjadi lebih menyeluruh dan berkelanjutan.
Selain itu, Sarah akan mewakili Indonesia dalam program prestisius YSEALI Professional Fellowship di Amerika Serikat pada September mendatang, dengan membawa misi yang sama: menjadikan inklusivitas sebagai agenda global, dimulai dari komunitas lokal.
“Saya tahu saya tidak bisa mengubah dunia sendirian. Tapi jika suara saya bisa membuka satu pintu sekolah, mengubah satu perspektif, atau membuat satu anak merasa diterima, maka saya sudah cukup bahagia,” tutup Sarah dengan suara lantang, namun lembut.
Dalam era di mana narasi sering kali didominasi oleh estetika, kehadiran sosok seperti Sarah menjadi pengingat bahwa kecantikan sejati adalah keberanian untuk bersuara, berpihak, dan berjuang untuk mereka yang tak selalu diberi ruang.